Dia menghela nafas
perlahan. Bertanya perlahan. Berusaha memutus suasana canggung lima menit
terakhir, “apa kau baik-baik saja?”
Aku mengangkat
kepalaku, mengangguk.
“Apa kau baik-baik
saja,” aku balik bertanya pelan.
Dia tertawa getir.
Menggeleng.
Bulan purnama
menggantung di angkasa. Senyap? Sebenarnya tidak juga. Suara nyaring orang
sedang bekerja menghantam malam yang terdengar berirama. Tetapi pembicaraan ini
membuat sepi banyak hal. Hatiku. Mungkin juga hatinya. Warung makan yang
terletak persis di pinggir jalan ini tidak ramai. Kami duduk berhadapan di meja
paling pinggir. Menyimak selimut gelapnya langit.
“Maafkan aku.” Dia
menggigit bibirnya. Tertunduk lagi.
Aku menatap wajahnya
lamat-lamat.
“Tidak ada yang
perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu. Tertinggal jauh dibelakang.” Aku menelan
ludah. Berusaha menjawab bijak — aku tahu itu bohong, pura-pura bijaksana.
Hening sejenak.
“Sungguh maafkan aku,” dia menyeka sudut-sudut
matanya, “Aku tak pernah tahu akan seperti ini jadinya.”
Aku menggeleng, “Kau tak harus meminta maaf.
Meskipun seharusnya kau tahu sehari setelah kau memutuskan pergi, aku lelah
membujuk hatiku agar tegar. Tetapi percuma. Menyakitkan. Semua itu membuat
sesak. Kalimat itu mungkin benar, ada seseorang dihidupmu yang ketika ia pergi,
maka ia juga membawa sepotong hatimu. Kau, kau pergi. Dan kau bahkan membawa
lebih dari separuh hatiku.
“Kau tahu, aku melalui minggu-minggu
menyedihkan itu. Dan yang lebih membuat semuanya terasa menyedihkan, aku tidak
pernah mengerti mengapa kau pergi. Sesungguhnya aku tak pernah yakin atas
segalanya. Aku tidak pernah baik-baik saja. Lima bulan berlalu, hanya berkutat
mengenangmu. Mendendang lagu-lagu patah hati. Membaca buku-buku patah hati.
Hidupku jalan ditempat.”
“Maafkan aku.” Suaranya lirih ku dengar.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Aku mendongak
keatas, menatap purnama. Berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba
menyelimuti hati. Sudahlah. Buat apa diingat lagi. Kemudian kembali menatap
wajahnya, tersenyum, “Kau tahu, di tengah semua kesedihan itu, disaat itu aku
akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati
yang hanya tersisaa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi.
Maka aku memutuskan membuat hati yang benar-benar baru.”
—kenangan indah bersamamu akan kembali memenuhi hari-hariku entah
hingga kapan. Itu benar. Membuatku sesak. Tapi aku tidak akan membiarkan
hidupku kembali dipenuhi harapan hidup bersamamu. Sudah cukup. Biarlah sakit
hati ini memenuhi hari-hariku. Biarlah aku menelannya bulat-bulat sambil
sempurna menumbuhkan hati yang baru, memperbaiki banyak hal, memperbaiki diri
sendiri.
Yogyakarta, 18 Mei 2016 #sepotonghatiyangbaru
#ceritacintayogyakarta
》Ikov_Bia《
0 komentar