Saat itu aku percaya
bahwa meninggalkanmu adalah keputusan terbaik. Dengan segala macam debat yang
tak kunjung usai, meletakkan kita dalam ujung cerita adalah satu-satunya cara
untuk memperbaiki. Bukan, mungkin lebih tepatnya, melepaskan yang tak mampu kita
rangkai utuh kembali.
Kata mereka,
perpisahan sejatinya takkan menyakiti kenangan. Benarkah? Namun mengapa setiap
kali kenangan manis yang terlintas, rasanya begitu menyakitkan? Apa kau juga
merasakan seperti yang aku rasakan? Apakah masih tentang kita yang menelisikmu
dalam pikiran? Apakah kau baik-baik saja dengan ini semua? Apakah kini semesta
tengah menjadikanku seorang terdakwa?
Sungguh, kenangan
manis tentang kita kini adalah hal terpahit yang tak sanggup aku kecap.
Perpisahan yang menurutku menjadi pengobat luka, justru menjadi sekarung
penyesalan yang begitu sesak di dada. Aku tahu aku salah, dan aku paham kini
aku kalah.
Maafkan aku yang
memilih pergi, disaat kau berjuang untuk memperbaiki. Bodohnya aku yang memilih
meninggalkan disaat kau berkelukur terluka tak ingin melepaskan. Lihatlah,
betapa pria yang melepas peluk hangatmu kini menjadi pria yang hampir mati
dalam dinginnya abaimu.
Sayang, sudah
jauhkah langkahmu kau derapkan? Sudah bergantikah rasamu dengan kebencian?
Masihkah ada untukku sedikit kesempatan?
Sayang, sungguh aku
ingin menutup mata diiringi oleh senyumanmu. Menjemput lelap yang entah mengapa
tak mau mengunjungi malam-malamku. Mata ini kini tengah terjaga oleh
penyesalan, dan hati ini hancur karena sadar akan kebodohan.
Sayang, masih
bolehkah aku mengejarmu lagi? Aku ingin memelukmu, memungut serpihan hancurnya
hatimu, merangkainya kembali dalam setulusnya maaf dari diriku. Dan bersumpah
untuk menjaganya hingga abadi dalam fananya waktu.
Sayang, masih
bolehkah dengan kata sayang aku memanggilmu? Masih pantaskah aku?
0 komentar