Journey of Love

Berburu Candi

Kamis, Maret 17, 2016



Dalam liburan Jum’at  Oktober 2014, saya berkesempatan ke Banguntapan untuk ‘nyandi’, istilah untuk kegiatan mengunjungi dan menikmati candi yang bertaburan di sekitar Yogya. Kegiatan yang aneh bagi sebagian orang namun sangat ngangeni bagi saya, rasanya seperti orang yang baru pacaran. Meskipun saat itu saya baru hamil dengan usia kandungan 3 bulan, tapi hal itu tidak menyurutkan antusias saya untuk berburu candi. Dan sore itu langsung saja saya menuju jalan Wonosari untuk melihat sebuah situs Watu Gilang yang memiliki relief yang sangat menarik dan eksotis. 


Dalam bahasa Jawa Kuno, Watu Gilang memiliki makna batu datar untuk duduk atau beristirahat, kadang diartikan pula tempat perhentian atau peristirahatan para musafir. Dan memang demikian keadaannya. Batu yang dimaksud memang datar dan dapat dipakai untuk duduk atau beristirahat bahkan bisa berbaring rebahan sehingga tak heran apabila pada suatu masa terdahulu, batu tersebut memang digunakan sebagai tempat peristirahatan para musafir dalam perjalanan (mungkin kalau sekarang bisa diibaratkan pompa bensin kalau mudik Lebaran atau seperti bandara/terminal/stasion atau masjid yang dijadikan tempat rebahan demi ngirit uang hotel).

Saya tidak tahu apakah Dusunnya terlebih dahulu ada atau Watu Gilangnya, tetapi kelihatannya Batu-nya yang terlebih dahulu ada sehingga dusunnya dinamakan Dusun Gilang, dan termasuk wilayah Desa Batu Retno, kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Sehingga, masyarakat sering menyebutnya dengan Watu Gilang Banguntapan (untuk membedakannya dengan Watu Gilang Kotagede yang konon dipercaya merupakan tahta Panembahan Senapati).


Papan Informasi Watu Gilang, Banguntapan, Yogyakarta
Tak dapat dipungkiri bahwa situs Watu Gilang Banguntapan, yang dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta ini, memang menarik perhatian karena berada di tengah-tengah pemukiman warga. Tidak sulit untuk mencapai Watu Gilang Banguntapan ini, karena kalau Anda tidak sampai, itu artinya Anda tersesat :D

  • Dari arah Yogya, ambil Jalan Wonosari sampai sekitar km 7 dan temukan pompa bensin Pertamina di sebelah kiri jalan.
  • Di seberang pompa bensin (sebelah kanan jalan Wonosari) ada jalan, berbeloklah ke situ (kanan)
  • Terus ikuti jalan tersebut hingga menemukan masjid Al-Mujahirin. Ada hanya perlu ikuti jalan utama yang mengarah ke kanan,
  • Ikuti jalan lagi hingga ada pertigaan pertama, berbeloklah ke kiri (jalan ini dikenal dengan jalan Gilang Raya)
  • Ikuti jalan Gilang Raya ini (cukup panjang, sekitar sekilometer) hingga mentok ke sebuah pertigaan (di sebelah kanan terlihat masjid lagi). Disini, berbeloklah ke kiri.
  • Ikuti jalan perumahan ini (jalannya tidak lebar, tetapi mobil bisa masuk) hingga mentok lagi. Di sebelah kanan terlihat lapangan volley. Jika Anda menggunakan mobil, kelihatannya Anda harus meminta izin untuk parkir di sekitar sini, tetapi jika Anda menggunakan sepeda motor, Anda bisa meneruskan jalan ke kanan. Tidak sampai 100 meter, Anda sudah bisa melihat situs Watu Gilang.

Mudah kan..???


Nah Watu Gilang itu sebenarnya sebuah batu besar satuan (monolith) yang terbuat dari jenis batuan sedimen sejenis tuffastone. Tidak kepalang tanggung, ukuran Watu Gilang ini mencapai ukuran sisi sekitar 2.60 m dan tingginya sekitar 1 meter. Sedangkan permukaannya agak lebih kecil sekitar 240 X 230cm dan ditengahnya ada lubang berdiameter 18cm sedalam 15cm. Lumayan gede untuk rebahan kan...?.? (Tapi jangan lakukan yaa, karena Watu Gilang ini situs cagar budaya yang dilindungi undang-undang)





Watu Gilang sisi Kuda dan Bebek (lihat kuda di sebelah kiri..???)

Watu Gilang ini berada di atas sebuah tanah seluas pekarangan rumah dengan pagar tanaman dibuat seadanya yang berfungsi hanya sebagai pembatas. Saat saya datang, sekeliling Watu Gilang tampak cukup terpelihara walaupun tak ada yang memayunginya sebagai pelindung dari air hujan dan daya rusak alam yang tak memilih dalam menghancurkan.



Dan para ahli belum dapat memastikan fungsi Watu Gilang ini dalam kehidupan masyarakat pada masanya, bahkan belum diketahui juga kapan masa pembuatannya. Meskipun telah dilakukan penelitian sejauh ini, -mengingat bentuknya yang datar-, bahwa Watu Gilang ini digunakan sebagai tempat bertafakur dan bertirakat dari seorang tokoh terkenal yang bernama Kyai Gejawan. Namun kelihatannya keberadaan batu ini melampaui dari periode penelitian tersebut. Para ahli pun belum dapat memastikan, apakah Watu Gilang ini merupakan bagian dari sebuah bangunan dengan nilai budaya atau religi tertentu.

Unik dan menariknya, pada tiap sisinya penuh dengan ukiran relief hiasan sulur-suluran dan bunga serta sepasang binatang dalam panel yang berbentuk kotak persegi. Dari cerita mulut ke mulut, ada pendapat yang mengatakan bahwa penggambaran binatang-binatang itu merupakan simbol dari tokoh-tokoh wayang, yang tentu saja sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat kita sejak lama. Konon Watu Gilang ini merupakan peninggalan dari Parikesit, seorang tokoh terkenal dalam dunia pewayangan. Dan profil binatang apa saja yang menghiasi batu...???


Ikan dan Musang – Watu Gilang Banguntapan

Pada dinding batu sebelah Utara digambarkan Ikan dan Musang (walaupun saya gagal melihat bentuk musangnya, karena lebih kelihatan seperti Ubur-ubur atau Gurita :D), pada sisi Timur dihiasi dengan relief Sapi dan Kambing, pada sisi sebelah Selatan dihiasi dengan Bebek dan Kuda (yang lagi-lagi saya gagal melihatnya) dan yang mengejutkan adalah pada sisi Barat terdapat relief Gajah dan Kuda Terbang, dengan sayapnya yang terkembang...!!! Jika pada waktu itu para seniman pahat batu sudah menggambarkan kuda terbang, imajinasinya cukup menawan kan...??? Ataukah kuda terbang kala itu benar-benar nyata...?.?

Sapi dan Kambing – Watu Gilang Banguntapan





 Bebek dan Kuda – Watu Gilang Banguntapan
Gajah dan Kuda Terbang Watu Gilang Banguntapan


Saat mengunjungi Watu Gilang, saya tidak bertemu dengan wisatawan lainnya. Dan juga tidak bertemu dengan tempat penjualan tiket masuk, karena pagar pun tak ada. Keramahan khas Yogyakarta tampak jelas pada warga desa yang dengan senyum menyambut pengunjung yang akan melihat Watu Gilang. Mereka sesekali bertanya tentang asal saya, mungkin karena melihat saya yang kelihatan Indonesia tapi ‘bukan asli Jawa’ padahal Jawaku itu masih kental. Cuma banyak yang bilang wajahku tidak mirip dengan orang Jawa. Dan setelahnya, mereka membiarkan saya menikmati Watu Gilang, tanpa gangguan. Nyaman! Sepertinya mereka memelihara cagar budaya yang tersembunyi di dusun mereka, menghargainya dengan tidak merusaknya, merawat kebersihannya dan membiarkan Watu Gilang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Sesederhana itu...!_!


#tsalaatsabia #loveofjourney #adaceritacintayogyakarta



Ikov_Bia

You Might Also Like

0 komentar