Dalam liburan Jum’at Oktober 2014, saya
berkesempatan ke Banguntapan untuk ‘nyandi’, istilah untuk kegiatan mengunjungi dan menikmati
candi yang bertaburan di sekitar Yogya. Kegiatan yang aneh bagi sebagian orang
namun sangat ngangeni bagi saya, rasanya seperti orang yang baru pacaran. Meskipun saat itu saya baru hamil dengan usia kandungan 3 bulan, tapi hal
itu tidak menyurutkan antusias saya untuk berburu candi. Dan sore itu langsung
saja saya menuju jalan Wonosari untuk melihat sebuah situs Watu Gilang yang
memiliki relief yang sangat menarik dan eksotis.
Dalam bahasa Jawa Kuno, Watu Gilang memiliki makna batu datar untuk duduk
atau beristirahat, kadang diartikan pula tempat perhentian atau peristirahatan
para musafir. Dan memang demikian keadaannya. Batu yang dimaksud memang datar
dan dapat dipakai untuk duduk atau beristirahat bahkan bisa berbaring rebahan
sehingga tak heran apabila pada suatu masa terdahulu, batu tersebut memang
digunakan sebagai tempat peristirahatan para musafir dalam perjalanan (mungkin
kalau sekarang bisa diibaratkan pompa bensin kalau mudik Lebaran atau seperti
bandara/terminal/stasion atau masjid yang dijadikan tempat rebahan demi ngirit
uang hotel).
Saya tidak tahu apakah Dusunnya terlebih dahulu ada atau Watu Gilangnya,
tetapi kelihatannya Batu-nya yang terlebih dahulu ada sehingga dusunnya
dinamakan Dusun Gilang, dan termasuk wilayah Desa Batu Retno, kecamatan
Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Sehingga, masyarakat sering menyebutnya dengan
Watu Gilang Banguntapan (untuk membedakannya dengan Watu Gilang Kotagede yang
konon dipercaya merupakan tahta Panembahan Senapati).
Papan Informasi Watu Gilang, Banguntapan, Yogyakarta |
- Dari arah Yogya, ambil Jalan Wonosari sampai sekitar km 7 dan temukan pompa bensin Pertamina di sebelah kiri jalan.
- Di seberang pompa bensin (sebelah kanan jalan Wonosari) ada jalan, berbeloklah ke situ (kanan)
- Terus ikuti jalan tersebut hingga menemukan masjid Al-Mujahirin. Ada hanya perlu ikuti jalan utama yang mengarah ke kanan,
- Ikuti jalan lagi hingga ada pertigaan pertama, berbeloklah ke kiri (jalan ini dikenal dengan jalan Gilang Raya)
- Ikuti jalan Gilang Raya ini (cukup panjang, sekitar sekilometer) hingga mentok ke sebuah pertigaan (di sebelah kanan terlihat masjid lagi). Disini, berbeloklah ke kiri.
- Ikuti jalan perumahan ini (jalannya tidak lebar, tetapi mobil bisa masuk) hingga mentok lagi. Di sebelah kanan terlihat lapangan volley. Jika Anda menggunakan mobil, kelihatannya Anda harus meminta izin untuk parkir di sekitar sini, tetapi jika Anda menggunakan sepeda motor, Anda bisa meneruskan jalan ke kanan. Tidak sampai 100 meter, Anda sudah bisa melihat situs Watu Gilang.
Mudah kan..???
Nah Watu Gilang itu sebenarnya sebuah batu besar satuan (monolith) yang
terbuat dari jenis batuan sedimen sejenis tuffastone. Tidak kepalang tanggung,
ukuran Watu Gilang ini mencapai ukuran sisi sekitar 2.60 m dan tingginya
sekitar 1 meter. Sedangkan permukaannya agak lebih kecil sekitar 240 X 230cm
dan ditengahnya ada lubang berdiameter 18cm sedalam 15cm. Lumayan gede untuk
rebahan kan...?.? (Tapi jangan lakukan
yaa, karena Watu Gilang ini situs cagar budaya yang
dilindungi undang-undang)
Watu Gilang ini berada di atas sebuah tanah seluas pekarangan rumah dengan pagar tanaman dibuat seadanya yang berfungsi hanya sebagai pembatas. Saat saya datang, sekeliling Watu Gilang tampak cukup terpelihara walaupun tak ada yang memayunginya sebagai pelindung dari air hujan dan daya rusak alam yang tak memilih dalam menghancurkan.
Dan para ahli belum dapat memastikan fungsi Watu Gilang ini dalam
kehidupan masyarakat pada masanya, bahkan belum diketahui juga kapan masa
pembuatannya. Meskipun telah dilakukan penelitian sejauh ini, -mengingat
bentuknya yang datar-, bahwa Watu Gilang ini digunakan sebagai tempat
bertafakur dan bertirakat dari seorang tokoh terkenal yang bernama Kyai
Gejawan. Namun kelihatannya keberadaan batu ini melampaui dari periode
penelitian tersebut. Para ahli pun belum dapat memastikan, apakah Watu Gilang
ini merupakan bagian dari sebuah bangunan dengan nilai budaya atau religi tertentu.
Unik dan menariknya, pada tiap sisinya penuh dengan ukiran relief hiasan
sulur-suluran dan bunga serta sepasang binatang dalam panel yang berbentuk
kotak persegi. Dari cerita mulut ke mulut, ada pendapat yang mengatakan bahwa
penggambaran binatang-binatang itu merupakan simbol dari tokoh-tokoh wayang,
yang tentu saja sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat kita
sejak lama. Konon Watu Gilang ini merupakan peninggalan dari Parikesit, seorang
tokoh terkenal dalam dunia pewayangan. Dan profil binatang apa saja yang
menghiasi batu...???
Pada dinding batu sebelah Utara digambarkan Ikan dan Musang (walaupun saya gagal melihat bentuk musangnya, karena lebih
kelihatan seperti Ubur-ubur atau Gurita :D), pada sisi Timur dihiasi dengan relief Sapi dan Kambing, pada sisi sebelah Selatan dihiasi dengan Bebek dan Kuda (yang lagi-lagi saya gagal melihatnya) dan yang mengejutkan adalah
pada sisi Barat terdapat relief Gajah dan Kuda Terbang, dengan sayapnya yang
terkembang...!!! Jika pada waktu itu
para seniman pahat batu sudah menggambarkan kuda terbang, imajinasinya cukup
menawan kan...??? Ataukah kuda terbang
kala itu benar-benar nyata...?.?
Saat mengunjungi Watu Gilang, saya tidak bertemu dengan wisatawan
lainnya. Dan juga tidak bertemu dengan tempat penjualan tiket masuk, karena
pagar pun tak ada. Keramahan khas Yogyakarta tampak jelas pada warga desa yang
dengan senyum menyambut pengunjung yang akan melihat Watu Gilang. Mereka
sesekali bertanya tentang asal saya, mungkin karena melihat saya yang kelihatan
Indonesia tapi ‘bukan asli Jawa’ padahal Jawaku itu masih
kental. Cuma banyak yang bilang
wajahku tidak mirip dengan orang Jawa. Dan setelahnya, mereka membiarkan saya
menikmati Watu Gilang, tanpa gangguan. Nyaman! Sepertinya mereka memelihara
cagar budaya yang tersembunyi di dusun mereka, menghargainya dengan tidak
merusaknya, merawat kebersihannya dan membiarkan Watu Gilang menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Sesederhana itu...!_!
#tsalaatsabia #loveofjourney #adaceritacintayogyakarta
》Ikov_Bia《
0 komentar