Pulang dari Surabaya kemarin benar-benar
meninggalkan kesan yang takkan terlupakan bagiku. Goresan kenangan itu
benar-benar menancap dalam qalbu.
Siang, ditengah terik panasnya matahari di kota
Surakarta a.k.a Solo yang semakin panas hingga membuat kulit ini hitam legam,
muncullah sosok yang begitu membuatku bangga akan kedua orang tuaku. Seketika
itu, aku teringat mereka dan aku berdoa dalam hatiku, ya Allah ampunilah dosa
mereka dan mudahkanlah segala urusan mereka. Duhai abi dan ummi maafkanlah
anakmu ini yang belum bisa membanggakan kalian. Hampir saja aku menangis tapi
aku tahan air mataku.
Sosok itu adalah si Ibu tua yang tak pantang
meski telah dimakan usia. Tubuhnya yang kelihatan semakin keriput, kakinya
pecah-pecah, dan sorot matanya pun semakin padam. Namun semua itu tak
memadamkan semangatnya untuk mandiri, bekerja tanpa rasa malu. Dalam hatiku
terbetik satu pertanyaan,
“orang setua ini saja tak
malu dan tak pantang menyerah untuk menjalani hidupnya dengan tidak bergantung
pada orang lain, lalu bagaimana denganku yang masih remaja, usia masih muda,
tenaga pun masih kuat tapi kok kalah sama bapak tua ini.
Perlahan Ibu itu menghampiri aku yang
sedang duduk, istirahat setelah turun dari bus setelah melakukan perjalanan
dari Surabaya.
“Gedhang, Sawo ne mbak (Pisang, Sawonya mbak — Bhs. Indonesia)”. Kata Ibu tua itu dengan nada lirih.
“Mboten mbah, ternuwun (Tidak mbah/nek, terima kasih — Bhs. Indonesia)”.
Jawabku sambil menyelidik sosok Ibu tua tersebut. Dalam hati aku sangat kagum
akan kegigihannya dalam mengais rizky.
Ibu tua tersebut duduk disampingku, dan menanyakan aku mau kemana
kok membawa barang bawaan banyak.
“Badhe tindak pundhi
mbak? (Mau pergi kemana mbak? — Bhs. Indonesia).” Tanyanya kepadaku menggunakan
Bhs. Jawa halus.
Disitu menambah kekagumanku, karena Ibu tua itu bertanya kepadaku
menggunakan bahasa Jawa halus, padahal aku lebih muda dari beliau. Betapa
malunya kita yang muda jika bertanya atau berbicara kepada yang lebih tua namun
menggunakan bahasa yang kurang sopan bahkan jangkar. Dari bahasa yang gunakan
Ibu tua itu, aku mengerti bahwa Ibu tua itu menghormati yang lebih muda.
Meskipun Ibu tua itu tau bahwa yang lebih tua lebih berhak dihormati.
“Badhe wangsul, wau
saking Surabaya. Niki badhe wangsul ten Palur nanging nenggo rencang ten mriki
(Mau pulang, habis dari Surabaya. Ini mau pulang ke Palur tapi nunggu teman
disini — Bhs. Indonesia).” Jawabku sambil menjelaskan keberadaanku disitu.
“Griyanipun pundhi
mbah? (Rumahnya mana mbah/nek? — Bhs. Indonesia).” Tanyaku menyambung.
“Cerak mriku meng
Ngemplak (Dekat, cuma Ngemplak — Bhs. Indonesia).” Jawabnya singkat. Ngemplak
suatu desa yang berada disekitaran dekat terminal Tertonadi Solo.
“Keliling, sadean
ngeten dugi pundi mbah? (keliling, jualan seperti ini sampai mana mbah/nek? — Bhs.
Indonesia).” tanyaku semakin heran dan menanyakan perihal mobilitasnya dalam
berdagang.
“Dugi pasar Legi,
mboten mesti kadang nggeh dugi Masjid Sholihin (Sampai Pasar Legi, tidak pasti
kadang juga sampai Masjid Sholihin — Bhs. Indonesia).” Jawabnya sambil mengelap
keringat di jidatnya.
Tak heran jika ku lihat kakinya pecah-pecah, karena jualan dengan
berjalan kaki tanpa sandal di panasnya aspal kota Solo. Disaat aku mau
menanyakan tentang semangatnya berdagang dan menanyakan perihal keluarga.
Temanku yang meminta aku menunggu disitu pun datang.
“Bia, maaf lama tadi
nunggu bus belakang.e aku nitip barang”. Katanya menjelaskan keterlambatannya.
“Iya mas ndak papa.”
Jawabku singkat dengan memberikan kode-kode kepadanya untuk membeli sawo Ibu
tua tersebut.
Segera temanku itu, menyadari maksud dari kode-kode yang aku
berikan. Dia segera menanyakan harga buah Sawo yang sudah dibungkus Ibu tua itu
dengan plastik.
“Sawonya berapaan
bu?”. Tanyanya kepada Ibu tua tersebut.
“7 ewu mas, Sowone
manis (7 ribu mas, Sawonya manis rasanya — Bhs. Indonesia).” Jawabnya sambil
menjelaskan, bahwa buah Sawo dagangannya manis.
“Tumbas 1 bungkus bu
(beli 1 bungkus bu — Bhs. Indonesia).” Sambil mengulurkan uang 10 ribu, kepada
Ibu tua tersebut.
Ku lihat tangan Ibu tersebut gemetaran, Ibu itu mengambilkan uang
3000 untuk kembalian temanku itu. Sembari Ibu tersebut membungkuskan Sawo
kedalam kantong plastik hitam, disitu aku bertanya pertanyaan ringan.
“Mbah asma nipun
sinten? (Mbah namanyas siapa — Bhs. Indonesia).” Tanyaku singkat, dan berharap
semoga pertanyaan ini tak mengganggunya.
“Tugiyem mbak, kulo
rumiyen mbak mas niki dagangane tasih. Ajeng lanjutke kliling maleh (Tugiyem
mbak, saya duluan mbak mas ini dagangannya masih. Saya mau melanjutkan keliling
lagi — Bhs. Indonesia).” Jawabnya sambil beliau berpamitan dan melanjutkan
berjualan lagi.
Disitu aku dan temenku meminta maaf karena sudah menyela waktu Ibu
tua tersebut berjualan.
“Oo, inggih bu,
ngapunten pun ganggu wektu Ibu sadean (Oo, iya bu, maaf sudah mengganggu waktu
Ibu berjualan — Bhs. Indonesia).” Jawab temanku yang sembari meminta maaf .
“Injeh mbah,
atos-atos (iya mbah/nek hati-hati — Bhs. Indonesia).” Jawabku sambil tersenyum
melihat betapa bangganya aku terhadap Ibu tua tersebut.
Perlahan bayangannya lenyap dari pandangan kami.
Setelah itu aku dan temanku segera beranjak pergi ke halte bus
trans Solo, untuk segera pulang ke Palur. Didalam bus aku hanya bisa merasakan
kebanggaan terhadap Ibu tua tersebut.
Kulihat tadi usianya diatas 60 tahun. Tapi semangatnya begitu luar
biasa. Beliau tak mau berhela-hela (nyantai) dirumah. Kakinya terus melangkah
tak kenal lelah meski sampai pecah-pecah. Ya itulah semangat hidup yang
dimiliki oleh Ibu Tugiyem, penjual buah keliling. Seolah tak ada kata lelah
dalam kamusnya.
Duhai diri, bagaimana dengan dirimu ini yang masih muda justru
banyak berleha-leha, bercanda dan banyak menghabiskan waktu di depan layar,
entah televisi, playstation, atau smartphone. Banyak juga diantara kita yang
justru loyo, tak punya semangat untuk bekerja dan nganggur di rumah. Coba kita
renungkan apa yang orang tua kita semua lakukan ketika kita muda nyantai?
Apakah mereka ikut nyantai duduk-duduk dengan kita? Tidak, mereka bekerja keras
membanting tulang untuk kita semua dari pagi hingga sore.
Semua itu mereka lakukan demi untuk kebaikan kita dimasa mendatang,
lalu apa balasan kita? Hanya bermain dan santai-santai saja? Pastinya tidak
kan? Ayolah segera bangkit dari ketepurukan kita. Buktikan kepada orang tua
kita bahwa kita bisa menjadi anak kebanggan mreka. Buktikan dengan prestasi
kita di sekolah. Bagi yang kuliah buktikan bahwa kita bisa mandiri tanpa harus
meminta uang kiriman tiap bulannya. Bagi yang sudah tak sekolah ayo bekerjalah
mandiri. Bahagiakan orang tua kita engan segala kemampuan yang kita miliki.
Gali, asah, dan manfaatkan potensi yang kita miliki. Bukanlah pemuda itu yang
mengatakan inilah bapakku tapi seorang pemuda sejati adalah yang mengatakan
inilah aku.
Tulisan ini tidak ada maksud untuk menyinggung pihak manapun.
Tulisan ini hanya sebagai muhasabah diri sendiri saja.
》Ikov_Bia《
0 komentar