Journey of Love

Trip To Surabaya Part II

Senin, Oktober 31, 2016



Pulang dari Surabaya kemarin benar-benar meninggalkan kesan yang takkan terlupakan bagiku. Goresan kenangan itu benar-benar menancap dalam qalbu.
Siang, ditengah terik panasnya matahari di kota Surakarta a.k.a Solo yang semakin panas hingga membuat kulit ini hitam legam, muncullah sosok yang begitu membuatku bangga akan kedua orang tuaku. Seketika itu, aku teringat mereka dan aku berdoa dalam hatiku, ya Allah ampunilah dosa mereka dan mudahkanlah segala urusan mereka. Duhai abi dan ummi maafkanlah anakmu ini yang belum bisa membanggakan kalian. Hampir saja aku menangis tapi aku tahan air mataku.
Sosok itu adalah si Ibu tua yang tak pantang meski telah dimakan usia. Tubuhnya yang kelihatan semakin keriput, kakinya pecah-pecah, dan sorot matanya pun semakin padam. Namun semua itu tak memadamkan semangatnya untuk mandiri, bekerja tanpa rasa malu. Dalam hatiku terbetik satu pertanyaan,
orang setua ini saja tak malu dan tak pantang menyerah untuk menjalani hidupnya dengan tidak bergantung pada orang lain, lalu bagaimana denganku yang masih remaja, usia masih muda, tenaga pun masih kuat tapi kok kalah sama bapak tua ini.
Perlahan Ibu itu menghampiri aku yang sedang duduk, istirahat setelah turun dari bus setelah melakukan perjalanan dari Surabaya.
“Gedhang, Sawo ne mbak (Pisang, Sawonya mbak — Bhs. Indonesia)”. Kata Ibu tua itu dengan nada lirih.
“Mboten mbah, ternuwun (Tidak mbah/nek, terima kasih — Bhs. Indonesia)”. Jawabku sambil menyelidik sosok Ibu tua tersebut. Dalam hati aku sangat kagum akan kegigihannya dalam mengais rizky.
Ibu tua tersebut duduk disampingku, dan menanyakan aku mau kemana kok membawa barang bawaan banyak.
“Badhe tindak pundhi mbak? (Mau pergi kemana mbak? — Bhs. Indonesia).” Tanyanya kepadaku menggunakan Bhs. Jawa halus.
Disitu menambah kekagumanku, karena Ibu tua itu bertanya kepadaku menggunakan bahasa Jawa halus, padahal aku lebih muda dari beliau. Betapa malunya kita yang muda jika bertanya atau berbicara kepada yang lebih tua namun menggunakan bahasa yang kurang sopan bahkan jangkar. Dari bahasa yang gunakan Ibu tua itu, aku mengerti bahwa Ibu tua itu menghormati yang lebih muda. Meskipun Ibu tua itu tau bahwa yang lebih tua lebih berhak dihormati.
“Badhe wangsul, wau saking Surabaya. Niki badhe wangsul ten Palur nanging nenggo rencang ten mriki (Mau pulang, habis dari Surabaya. Ini mau pulang ke Palur tapi nunggu teman disini — Bhs. Indonesia).” Jawabku sambil menjelaskan keberadaanku disitu.
“Griyanipun pundhi mbah? (Rumahnya mana mbah/nek? — Bhs. Indonesia).” Tanyaku menyambung.
“Cerak mriku meng Ngemplak (Dekat, cuma Ngemplak — Bhs. Indonesia).” Jawabnya singkat. Ngemplak suatu desa yang berada disekitaran dekat terminal Tertonadi Solo.
“Keliling, sadean ngeten dugi pundi mbah? (keliling, jualan seperti ini sampai mana mbah/nek? — Bhs. Indonesia).” tanyaku semakin heran dan menanyakan perihal mobilitasnya dalam berdagang.
“Dugi pasar Legi, mboten mesti kadang nggeh dugi Masjid Sholihin (Sampai Pasar Legi, tidak pasti kadang juga sampai Masjid Sholihin — Bhs. Indonesia).” Jawabnya sambil mengelap keringat di jidatnya.
Tak heran jika ku lihat kakinya pecah-pecah, karena jualan dengan berjalan kaki tanpa sandal di panasnya aspal kota Solo. Disaat aku mau menanyakan tentang semangatnya berdagang dan menanyakan perihal keluarga. Temanku yang meminta aku menunggu disitu pun datang.
“Bia, maaf lama tadi nunggu bus belakang.e aku nitip barang”. Katanya menjelaskan keterlambatannya.
“Iya mas ndak papa.” Jawabku singkat dengan memberikan kode-kode kepadanya untuk membeli sawo Ibu tua tersebut.
Segera temanku itu, menyadari maksud dari kode-kode yang aku berikan. Dia segera menanyakan harga buah Sawo yang sudah dibungkus Ibu tua itu dengan plastik.
“Sawonya berapaan bu?”. Tanyanya kepada Ibu tua tersebut.
“7 ewu mas, Sowone manis (7 ribu mas, Sawonya manis rasanya — Bhs. Indonesia).” Jawabnya sambil menjelaskan, bahwa buah Sawo dagangannya manis.
“Tumbas 1 bungkus bu (beli 1 bungkus bu — Bhs. Indonesia).” Sambil mengulurkan uang 10 ribu, kepada Ibu tua tersebut.
Ku lihat tangan Ibu tersebut gemetaran, Ibu itu mengambilkan uang 3000 untuk kembalian temanku itu. Sembari Ibu tersebut membungkuskan Sawo kedalam kantong plastik hitam, disitu aku bertanya pertanyaan ringan.
“Mbah asma nipun sinten? (Mbah namanyas siapa — Bhs. Indonesia).” Tanyaku singkat, dan berharap semoga pertanyaan ini tak mengganggunya.
“Tugiyem mbak, kulo rumiyen mbak mas niki dagangane tasih. Ajeng lanjutke kliling maleh (Tugiyem mbak, saya duluan mbak mas ini dagangannya masih. Saya mau melanjutkan keliling lagi — Bhs. Indonesia).” Jawabnya sambil beliau berpamitan dan melanjutkan berjualan lagi.
Disitu aku dan temenku meminta maaf karena sudah menyela waktu Ibu tua tersebut berjualan.
“Oo, inggih bu, ngapunten pun ganggu wektu Ibu sadean (Oo, iya bu, maaf sudah mengganggu waktu Ibu berjualan — Bhs. Indonesia).” Jawab temanku yang sembari meminta maaf .
“Injeh mbah, atos-atos (iya mbah/nek hati-hati — Bhs. Indonesia).” Jawabku sambil tersenyum melihat betapa bangganya aku terhadap Ibu tua tersebut.
Perlahan bayangannya lenyap dari pandangan kami.
Setelah itu aku dan temanku segera beranjak pergi ke halte bus trans Solo, untuk segera pulang ke Palur. Didalam bus aku hanya bisa merasakan kebanggaan terhadap Ibu tua tersebut.
Kulihat tadi usianya diatas 60 tahun. Tapi semangatnya begitu luar biasa. Beliau tak mau berhela-hela (nyantai) dirumah. Kakinya terus melangkah tak kenal lelah meski sampai pecah-pecah. Ya itulah semangat hidup yang dimiliki oleh Ibu Tugiyem, penjual buah keliling. Seolah tak ada kata lelah dalam kamusnya.
Duhai diri, bagaimana dengan dirimu ini yang masih muda justru banyak berleha-leha, bercanda dan banyak menghabiskan waktu di depan layar, entah televisi, playstation, atau smartphone. Banyak juga diantara kita yang justru loyo, tak punya semangat untuk bekerja dan nganggur di rumah. Coba kita renungkan apa yang orang tua kita semua lakukan ketika kita muda nyantai? Apakah mereka ikut nyantai duduk-duduk dengan kita? Tidak, mereka bekerja keras membanting tulang untuk kita semua dari pagi hingga sore.
Semua itu mereka lakukan demi untuk kebaikan kita dimasa mendatang, lalu apa balasan kita? Hanya bermain dan santai-santai saja? Pastinya tidak kan? Ayolah segera bangkit dari ketepurukan kita. Buktikan kepada orang tua kita bahwa kita bisa menjadi anak kebanggan mreka. Buktikan dengan prestasi kita di sekolah. Bagi yang kuliah buktikan bahwa kita bisa mandiri tanpa harus meminta uang kiriman tiap bulannya. Bagi yang sudah tak sekolah ayo bekerjalah mandiri. Bahagiakan orang tua kita engan segala kemampuan yang kita miliki. Gali, asah, dan manfaatkan potensi yang kita miliki. Bukanlah pemuda itu yang mengatakan inilah bapakku tapi seorang pemuda sejati adalah yang mengatakan inilah aku.
Tulisan ini tidak ada maksud untuk menyinggung pihak manapun. Tulisan ini hanya sebagai muhasabah diri sendiri saja.

Ikov_Bia

You Might Also Like

0 komentar